Rabu, 16 November 2011

bhagavad gita

http://www.google.co.id/search?q=nhagavad+gita+untuk+pemula+download&ie=utf-8&oe=utf-8&aq=t&rls=org.mozilla:en-US:official&client=firefox-a

meru

Meru

Meru adalah salah satu bentuk niyasa berupa bangunan suci stana Ida Bhatara (manifestasi Ida Sanghyang Widhi Wasa) yang dalam tradisi beragama Hindu di Bali disebut pelinggih. Bangunan meru terdiri dari tiga bagian, yaitu:

Bagian pertama adalah pondamen atau bebaturan dibuat dari bahan batu, semen, paras, batu-bata, dengan ornamen yang disebut karang gajah, karang paksi, dan karang bun.
Bagian kedua, di atas bebaturan ada gedong yang biasanya dibuat dari bahan kayu atau pasangan batu.
Bagian ketiga atap atau kereb yang bertumpang-tumpang, dibuat dari bahan kayu dan ijuk. Terkadang atap bertumpang ini dibuat pula dari bahan seng, genting, atau semen-beton.

Di dalam gedong disimpan simbol-simbol Ida Bhatara berupa patung dari bahan kayu, jinah bolong atau bahan lainnya yang bermutu tinggi, dan tidak jarang dibuat dari logam mulia murni atau hanya dilapisi emas/ perak.

Meru yang pertama kali dikenalkan di Bali oleh Mpu Kuturan pada abad ke-11 adalah meru dengan atap bertumpang 3 (tiga). Namun sejak kedatangan Danghyang Nirartha pada abad ke-14, jumlah tumpang atap meru berkembang menjadi: 1, 3, 5, 7, 9, dan 11. Ada juga meru yang beratap tumpang 2 (dua).

Baik Mpu Kuturan maupun Danghyang Nirartha sama-sama memandang meru sebagai simbol Mahameru, yakni pegunungan Himalaya di India. Himalaya diyakini sebagai kawasan yang paling suci di dunia, karena sebagai sumber mata air bagi tujuh sungai suci (sapta Gangga):

Gangga
Sindhu
Saraswati
Yamuna
Godawari
Narmada
Sarayu.

Di lembah sungai-sungai suci itulah Weda diwahyukan secara bertahap kepada para Maha-Rsi: Grtsamada, Wiswamitra, Wamadewa, Atri, Bharadwaja, Wasista, dan Kanwa.

Kesakralan dan kesucian bentuk pelinggih meru yang ditanamkan oleh Mpu Kuturan dan Danghyang Nirartha juga mengacu pada Atharwa-Weda yang berisi dalil-dalil matematika. Matematika dalam Atharwa-Weda adalah bahasa universal Sanghyang Widhi ketika mencipta alam semesta.

Bahasa universal adalah bahasa yang dimengerti oleh semua mahluk yang mempunyai kecerdasan tinggi. Bahasa universal bagi umat manusia, terlihat pada jumlah Sukta dalam Atharwa-Weda, jumlah mantra dalam Yayur-Weda-Putih dan Yayur-Weda-Hitam, serta jumlah Dewa-Dewa.

Bagi semua mahluk (manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan) bahasa universalnya adalah siklus peredaran bumi, bulan, dan bintang, yang semuanya menggunakan matematika yang cermat dan terstruktur.

Selain menanamkan kesakralan dan kesucian secara matematis, kedua Maha Rsi itu juga mengisyaratkan agar umat Hindu-Bali selalu berbhakti ke hadapan Sanghyang Widhi, antara lain melalui niyasa pelinggih meru.

Matematika yang digunakan oleh Mpu Kuturan dalam menetapkan jumlah tumpang dari atap meru adalah angka 3 (tiga), karena benda-benda angkasa ciptaan Sanghyang Widhi yang menjaga kehidupan mahluk di bumi adalah trilingga (tiga kedudukan Siwa), yakni: matahari, bulan, dan bintang.

Kemudian dari keyakinan ini berkembanglah ajaran beliau tentang ke-Tuhanan dan kehidupan, yakni: trimurti, tri-kahyangan, tri-mandala, trihitakarana, trikaya parisudha, dan lain-lain (Lontar Tutur Kuturan).

Matematika yang digunakan oleh Danghyang Nirartha dalam menetapkan jumlah tumpang dari atap meru, adalah sebagai berikut:

1. Jumlah tumpang atap meru yang tertinggi adalah 11 (sebelas). Angka 11 dipandang sebagai angka yang paling keramat, mengandung misteri dan merupakan pilihan utama, karena:

1.1 Jumlah hari peredaran bumi mengelilingi matahari (surya pramana) dalam setahun = 365,24; dan jumlah hari peredaran bulan mengelilingi bumi (candra pramana) dalam setahun = 354,37 Selisihnya = 10,87 dibulatkan = 11 hari. (Lontar Breghu Tattwa).

Angka 11 ini digunakan dalam sistem kalender “Saka-Bali”: Surya-Chandra Pramana untuk menentukan pengrepeting sasih dalam menghitung tibanya hari tahun baru, yakni pada: penanggal ping pisan sasih kadasa (tanggal satu bulan ke-sepuluh).

1.2 Larangan bagi umat Hindu membunuh lembu (sapi putih kendaraan suci Siwa), diwahyukan 20 kali dalam Rg-Weda, 5 kali dalam Yayur-Weda, 2 kali dalam Sama-Weda, dan 11 kali dalam Atharwa-Weda.

Bila secara matematis angka-angka itu dijumlahkan: 20 + 5 + 2 + 11 = 38. Jumlah digit angka 38 adalah 3 + 8 = 11. Bahkan bila digit angka 20, angka 5, angka 2 dan angka 11 dijumlahkan hasilnya = 2 + 0 + 5 + 2 + 1 + 1 = 11

1.3 Hyang Guru Siwa (Sanghyang Widhi) dengan ke-mahakuasaan-Nya (wibhu-sakti) menciptakan semesta dari diri-Nya, dengan cara berubah (uta-prota) dari Nirguna Brahman menjadi Saguna Brahman melalui 7 (tujuh) tahapan:

parama-siwa
sada-siwa
sada-rudra
mahadewa
ishwara
wisnu
brahma.

Di agama Hindu-Bali, ketujuh tahapan ini dinamakan sapta ongkara.

Ketika Hyang Guru Siwa uta-prota, beliau duduk di atas 4 (empat) helai bunga padma sebagai landasan kekuatan yang disebut sadu-sakti. Wibhu-sakti dan Sadu-sakti disebut Prabhu-sakti, berjumlah: 7 + 4 = 11.

Prabhu-sakti merupakan kekuatan yang menyebabkan getaran-getaran magis di semesta. Bagi orang yang tingkat kerohaniannya tinggi melihat Prabhu-sakti bercahaya, bening bagaikan kristal (Lontar Wrhaspati Tattwa)

1.4 Dalam Ilmu Matematika modern, angka 11 adalah bilangan prima kembar.

2. Meru dengan atap bertumpang ganjil.

2.1 Selain bilangan prima kembar seperti yang disebutkan di atas, ada bilangan prima lain, yaitu bilangan-bilangan yang dapat habis dibagi hanya oleh bilangan itu sendiri, seperti: 1, 2, 3, 5, 7, 11, dst

2.2 Kekeramatan angka-angka 1, 3, 5, 7

Angka 1 adalah simbol ke-Esaan Sanghyang Widhi yang disebut Sanghyang Tunggal (Nirguna Brahman), dengan aksara suci-Nya: Ongkara;

Angka 3 adalah simbol proses perubahan-Nya dari Nirguna Brahman menjadi Saguna Brahman: Parama-Siwa, Sada-Siwa, dan Siwa dengan aksara suci-Nya: Ang, Ung, Mang;

Angka 5 adalah simbol manifestasi-Nya yang lebih luas sebagai Saguna Brahman: Sadiyojata, Bhamadewa, Tat-Purusha, Aghora, dan Isana dengan aksara suci-Nya: Sa, Bha, Ta, A, I.

Angka 7 dipandang sakral dan suci, karena menjadi simbol: Sapta Ongkara, Sapta Gangga (tujuh sungai suci di India), Sapta-Petala, dan Sapta Cakra.

Sapta Ongkara dan Sapta Gangga sudah dijelaskan di atas; Sapta Petala menurut Lontar Agni Purana dan Kaurawasrama adalah tujuh lapisan bumi, bernama: patala, witala, nitala, sutala, tatala, satala, ratala. Lapisan yang paling dalam adalah patala, atau magma.

Sapta Cakra berada di tubuh manusia mulai dari: muladara (dubur), swadistana (kelamin), manipura (pusar), anahatta (jantung), wisudhi (pangkal tenggorokan), ajnya (sela-sela alis), dan sahasrara (ubun-ubun).

Ketujuh Cakra itu dinamakan Kundalini. Yoga Kundalini digunakan oleh Ida Pedanda di saat nyurya-sewana setiap hari, dan Kundalini yang sudah dibangkitkan akan berguna menjaga kesucian dan kesehatan tubuh.

2.3 Angka 9 bukan bilangan prima karena dapat dibagi (habis) dengan bilangan lain, yaitu 3, tetapi ia menjadi istimewa dan dipilih oleh Danghyang Nirartha (ada di Lontar Bhuwana Kosa) karena:

a). Jumlah pengider-ider Dewata Nawa Sangga adalah 9.
No.
Arah Dewa
Warna dan Senjata
Aksara
1. Timur (Purwa) Ishwara Putih (Sweta), Bajra Sang
2. Tenggara ((Agneya) Mahesora Merah-muda (Dumbra), Dupa Nang
3. Selatan (Daksina) Brahma Merah (Rakta), Gada Bang
4. Barat Daya (Nairity) Rudra Oranye (Rajata), Kadgamoksala Mang
5. Barat (Pascima) Mahadewa Kuning (Pita), Nagapasha Tang
6. Barat Laut (Wayabya) Sangkara Hijau (Syama), Dwaja-angkus Sing
7. Utara (Uttara) Wisnu Hitam (Kresna), Cakra Ang
8. Timur Laut (Airsaniya) Sambhu Abu-abu (Biru), Trisula Wang
9. Tengah-Tengah (Madya) Tri Purusha Campuran (Sarwaswarna), Padma Ing, Yang

b). Jumlah butir-butir ganitri (japa-mala) 108, sehingga bila digit angka 108 dijumlahkan: 1 + 0 + 8 = 9. Selain itu bila 108 dibagi 2 hasilnya = 54, di mana jumlah digit angkanya: 5 + 4 = 9. Seterusnya bila 54 dibagi 2 hasilnya = 27 jumlah digit angkanya: 2 + 7 = 9.

Aksara suci dari angka 9 adalah: Sa, Bha, Ta, A, I, Na, Ma, Si, Wa Dengan demikian Danghyang Nirartha, mengajarkan kepada pemeluk Hindu-Bali bahwa jenis meru menurut jumlah tumpang atapnya ada 6, yaitu: 1, 3, 5, 7, 9, 11

3. Meru yang atapnya bertumpang 2

Ada meru yang atapnya bertumpang 2 (dua), digunakan secara khusus, letaknya tidak berjajar dengan meru-meru yang lain yang atapnya bertumpang ganjil.

Angka 2 digunakan karena di samping merupakan bilangan prima yang sakral, juga sebagai simbol ardanareswari atau rwa bhineda (Lontar Bhuwana-Kosa). Aksara suci-Nya: Ang, Ah
Share+Bookmark | 444 Views | Category: Pura | Tags: Meru |