Rabu, 16 November 2011

bhagavad gita

http://www.google.co.id/search?q=nhagavad+gita+untuk+pemula+download&ie=utf-8&oe=utf-8&aq=t&rls=org.mozilla:en-US:official&client=firefox-a

meru

Meru

Meru adalah salah satu bentuk niyasa berupa bangunan suci stana Ida Bhatara (manifestasi Ida Sanghyang Widhi Wasa) yang dalam tradisi beragama Hindu di Bali disebut pelinggih. Bangunan meru terdiri dari tiga bagian, yaitu:

Bagian pertama adalah pondamen atau bebaturan dibuat dari bahan batu, semen, paras, batu-bata, dengan ornamen yang disebut karang gajah, karang paksi, dan karang bun.
Bagian kedua, di atas bebaturan ada gedong yang biasanya dibuat dari bahan kayu atau pasangan batu.
Bagian ketiga atap atau kereb yang bertumpang-tumpang, dibuat dari bahan kayu dan ijuk. Terkadang atap bertumpang ini dibuat pula dari bahan seng, genting, atau semen-beton.

Di dalam gedong disimpan simbol-simbol Ida Bhatara berupa patung dari bahan kayu, jinah bolong atau bahan lainnya yang bermutu tinggi, dan tidak jarang dibuat dari logam mulia murni atau hanya dilapisi emas/ perak.

Meru yang pertama kali dikenalkan di Bali oleh Mpu Kuturan pada abad ke-11 adalah meru dengan atap bertumpang 3 (tiga). Namun sejak kedatangan Danghyang Nirartha pada abad ke-14, jumlah tumpang atap meru berkembang menjadi: 1, 3, 5, 7, 9, dan 11. Ada juga meru yang beratap tumpang 2 (dua).

Baik Mpu Kuturan maupun Danghyang Nirartha sama-sama memandang meru sebagai simbol Mahameru, yakni pegunungan Himalaya di India. Himalaya diyakini sebagai kawasan yang paling suci di dunia, karena sebagai sumber mata air bagi tujuh sungai suci (sapta Gangga):

Gangga
Sindhu
Saraswati
Yamuna
Godawari
Narmada
Sarayu.

Di lembah sungai-sungai suci itulah Weda diwahyukan secara bertahap kepada para Maha-Rsi: Grtsamada, Wiswamitra, Wamadewa, Atri, Bharadwaja, Wasista, dan Kanwa.

Kesakralan dan kesucian bentuk pelinggih meru yang ditanamkan oleh Mpu Kuturan dan Danghyang Nirartha juga mengacu pada Atharwa-Weda yang berisi dalil-dalil matematika. Matematika dalam Atharwa-Weda adalah bahasa universal Sanghyang Widhi ketika mencipta alam semesta.

Bahasa universal adalah bahasa yang dimengerti oleh semua mahluk yang mempunyai kecerdasan tinggi. Bahasa universal bagi umat manusia, terlihat pada jumlah Sukta dalam Atharwa-Weda, jumlah mantra dalam Yayur-Weda-Putih dan Yayur-Weda-Hitam, serta jumlah Dewa-Dewa.

Bagi semua mahluk (manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan) bahasa universalnya adalah siklus peredaran bumi, bulan, dan bintang, yang semuanya menggunakan matematika yang cermat dan terstruktur.

Selain menanamkan kesakralan dan kesucian secara matematis, kedua Maha Rsi itu juga mengisyaratkan agar umat Hindu-Bali selalu berbhakti ke hadapan Sanghyang Widhi, antara lain melalui niyasa pelinggih meru.

Matematika yang digunakan oleh Mpu Kuturan dalam menetapkan jumlah tumpang dari atap meru adalah angka 3 (tiga), karena benda-benda angkasa ciptaan Sanghyang Widhi yang menjaga kehidupan mahluk di bumi adalah trilingga (tiga kedudukan Siwa), yakni: matahari, bulan, dan bintang.

Kemudian dari keyakinan ini berkembanglah ajaran beliau tentang ke-Tuhanan dan kehidupan, yakni: trimurti, tri-kahyangan, tri-mandala, trihitakarana, trikaya parisudha, dan lain-lain (Lontar Tutur Kuturan).

Matematika yang digunakan oleh Danghyang Nirartha dalam menetapkan jumlah tumpang dari atap meru, adalah sebagai berikut:

1. Jumlah tumpang atap meru yang tertinggi adalah 11 (sebelas). Angka 11 dipandang sebagai angka yang paling keramat, mengandung misteri dan merupakan pilihan utama, karena:

1.1 Jumlah hari peredaran bumi mengelilingi matahari (surya pramana) dalam setahun = 365,24; dan jumlah hari peredaran bulan mengelilingi bumi (candra pramana) dalam setahun = 354,37 Selisihnya = 10,87 dibulatkan = 11 hari. (Lontar Breghu Tattwa).

Angka 11 ini digunakan dalam sistem kalender “Saka-Bali”: Surya-Chandra Pramana untuk menentukan pengrepeting sasih dalam menghitung tibanya hari tahun baru, yakni pada: penanggal ping pisan sasih kadasa (tanggal satu bulan ke-sepuluh).

1.2 Larangan bagi umat Hindu membunuh lembu (sapi putih kendaraan suci Siwa), diwahyukan 20 kali dalam Rg-Weda, 5 kali dalam Yayur-Weda, 2 kali dalam Sama-Weda, dan 11 kali dalam Atharwa-Weda.

Bila secara matematis angka-angka itu dijumlahkan: 20 + 5 + 2 + 11 = 38. Jumlah digit angka 38 adalah 3 + 8 = 11. Bahkan bila digit angka 20, angka 5, angka 2 dan angka 11 dijumlahkan hasilnya = 2 + 0 + 5 + 2 + 1 + 1 = 11

1.3 Hyang Guru Siwa (Sanghyang Widhi) dengan ke-mahakuasaan-Nya (wibhu-sakti) menciptakan semesta dari diri-Nya, dengan cara berubah (uta-prota) dari Nirguna Brahman menjadi Saguna Brahman melalui 7 (tujuh) tahapan:

parama-siwa
sada-siwa
sada-rudra
mahadewa
ishwara
wisnu
brahma.

Di agama Hindu-Bali, ketujuh tahapan ini dinamakan sapta ongkara.

Ketika Hyang Guru Siwa uta-prota, beliau duduk di atas 4 (empat) helai bunga padma sebagai landasan kekuatan yang disebut sadu-sakti. Wibhu-sakti dan Sadu-sakti disebut Prabhu-sakti, berjumlah: 7 + 4 = 11.

Prabhu-sakti merupakan kekuatan yang menyebabkan getaran-getaran magis di semesta. Bagi orang yang tingkat kerohaniannya tinggi melihat Prabhu-sakti bercahaya, bening bagaikan kristal (Lontar Wrhaspati Tattwa)

1.4 Dalam Ilmu Matematika modern, angka 11 adalah bilangan prima kembar.

2. Meru dengan atap bertumpang ganjil.

2.1 Selain bilangan prima kembar seperti yang disebutkan di atas, ada bilangan prima lain, yaitu bilangan-bilangan yang dapat habis dibagi hanya oleh bilangan itu sendiri, seperti: 1, 2, 3, 5, 7, 11, dst

2.2 Kekeramatan angka-angka 1, 3, 5, 7

Angka 1 adalah simbol ke-Esaan Sanghyang Widhi yang disebut Sanghyang Tunggal (Nirguna Brahman), dengan aksara suci-Nya: Ongkara;

Angka 3 adalah simbol proses perubahan-Nya dari Nirguna Brahman menjadi Saguna Brahman: Parama-Siwa, Sada-Siwa, dan Siwa dengan aksara suci-Nya: Ang, Ung, Mang;

Angka 5 adalah simbol manifestasi-Nya yang lebih luas sebagai Saguna Brahman: Sadiyojata, Bhamadewa, Tat-Purusha, Aghora, dan Isana dengan aksara suci-Nya: Sa, Bha, Ta, A, I.

Angka 7 dipandang sakral dan suci, karena menjadi simbol: Sapta Ongkara, Sapta Gangga (tujuh sungai suci di India), Sapta-Petala, dan Sapta Cakra.

Sapta Ongkara dan Sapta Gangga sudah dijelaskan di atas; Sapta Petala menurut Lontar Agni Purana dan Kaurawasrama adalah tujuh lapisan bumi, bernama: patala, witala, nitala, sutala, tatala, satala, ratala. Lapisan yang paling dalam adalah patala, atau magma.

Sapta Cakra berada di tubuh manusia mulai dari: muladara (dubur), swadistana (kelamin), manipura (pusar), anahatta (jantung), wisudhi (pangkal tenggorokan), ajnya (sela-sela alis), dan sahasrara (ubun-ubun).

Ketujuh Cakra itu dinamakan Kundalini. Yoga Kundalini digunakan oleh Ida Pedanda di saat nyurya-sewana setiap hari, dan Kundalini yang sudah dibangkitkan akan berguna menjaga kesucian dan kesehatan tubuh.

2.3 Angka 9 bukan bilangan prima karena dapat dibagi (habis) dengan bilangan lain, yaitu 3, tetapi ia menjadi istimewa dan dipilih oleh Danghyang Nirartha (ada di Lontar Bhuwana Kosa) karena:

a). Jumlah pengider-ider Dewata Nawa Sangga adalah 9.
No.
Arah Dewa
Warna dan Senjata
Aksara
1. Timur (Purwa) Ishwara Putih (Sweta), Bajra Sang
2. Tenggara ((Agneya) Mahesora Merah-muda (Dumbra), Dupa Nang
3. Selatan (Daksina) Brahma Merah (Rakta), Gada Bang
4. Barat Daya (Nairity) Rudra Oranye (Rajata), Kadgamoksala Mang
5. Barat (Pascima) Mahadewa Kuning (Pita), Nagapasha Tang
6. Barat Laut (Wayabya) Sangkara Hijau (Syama), Dwaja-angkus Sing
7. Utara (Uttara) Wisnu Hitam (Kresna), Cakra Ang
8. Timur Laut (Airsaniya) Sambhu Abu-abu (Biru), Trisula Wang
9. Tengah-Tengah (Madya) Tri Purusha Campuran (Sarwaswarna), Padma Ing, Yang

b). Jumlah butir-butir ganitri (japa-mala) 108, sehingga bila digit angka 108 dijumlahkan: 1 + 0 + 8 = 9. Selain itu bila 108 dibagi 2 hasilnya = 54, di mana jumlah digit angkanya: 5 + 4 = 9. Seterusnya bila 54 dibagi 2 hasilnya = 27 jumlah digit angkanya: 2 + 7 = 9.

Aksara suci dari angka 9 adalah: Sa, Bha, Ta, A, I, Na, Ma, Si, Wa Dengan demikian Danghyang Nirartha, mengajarkan kepada pemeluk Hindu-Bali bahwa jenis meru menurut jumlah tumpang atapnya ada 6, yaitu: 1, 3, 5, 7, 9, 11

3. Meru yang atapnya bertumpang 2

Ada meru yang atapnya bertumpang 2 (dua), digunakan secara khusus, letaknya tidak berjajar dengan meru-meru yang lain yang atapnya bertumpang ganjil.

Angka 2 digunakan karena di samping merupakan bilangan prima yang sakral, juga sebagai simbol ardanareswari atau rwa bhineda (Lontar Bhuwana-Kosa). Aksara suci-Nya: Ang, Ah
Share+Bookmark | 444 Views | Category: Pura | Tags: Meru |

Kamis, 15 September 2011

Asal Usul Bendesa Tangkas Kori Agung


Babad Arya Kanuruhan (Brangsinga, Tangkas, Pegatepan)
Terdorong keinginan untuk mengetahui riwayat dari kawitan Tangkas yang hingga sekarang ini masih kacau karena masing-masing buku memberikan penjelasan-penjelasan yang berbeda-beda, sehingga timbul niat kami untuk mencari titik kebenaran tentang riwayat Tangkas tersebut, seperti asal usul mereka dan apa fungsinya di dalam menjalankan tugas negara dan Agama.
Untuk menelusuri ini kami mulai bertitik tolak dari sejarah Zaman Kediri, Singosari dan Majapahit karena ketiga kerajaan ini dapat memberikan andil yang sangat besar terutama dalam bidang Kesusasteraan, oleh karena itu kesusastraan pada zaman ini banyak menguraikan tokoh tokoh yang nantinya sangat erat hubungannya dengan warga- warga yang ada di Bali
Ruang Lingkup.
Dalam menguraikan suatu babad, perlu kami batasi sampai di mana kami menggali babad tersebut. Riwayat ini kami gali mulai adanya kerajaan Kediri, yang kemudian di lanjutkan dengan berdirinya kerajaan Singosari dan Majapahit, Expedisi (Gajah Mada ke Pulau Bali, yang diperintah oleh Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten, dengan Maha Patihnya yang bernama Ki Pasung Grigis, membawa suatu hikmah tersendiri terhadap perkembangan Warga yang berada di pulau Bali. Setelah beberapa lama maka Gajah Mada mengirim raja ke Bali yaitu Kresna Kepakisan dengan bersetana di Samplangan. Setelah berhasilnya pemerintahan Sri Kresna Kepakisan maka masing-masing Arya diangkat menjadi Menteri atau Punggawa.
Di dalam beberapa naskah menyebutkan bahwa Arya Kanuruhan mendapat tugas di Tangkas, dan Arya inilah yang mendirikan tempat pemujaan di Desa Tangkas, guna memuja leluhur mereka yang ada di Tanah Jawa, yang kemudian menjadilah Pura Kawitan Tangkas Kori Agung sekarang.
Demikianlah ruang lingkup pembahasan kami dalam menyusun riwayat Arya Kanuruhan, sebagai peletak batu pertama di Pura Kawitan Tangkas.
LELUHUR KELUARGA ARYA KANURUHAN DI TANAH JAWA.
Untuk menelusuri leluhur keluarga Tangkas di tanah Jawa, kita tidak dapat lepas dari kerajaan Kediri karena leluhur Tangkas ini dibesarkan di keraton Kediri
Pada tahun 1222, maka memerintahlah raja Kediri yang terakhir yang bcrnama Kertajaya (sering disebut dangan nama Dandang Gendis Kemudian raja Kertajaya mendapat serangan dari Ken Arok, sehingga terjadilah pertempuran yang sengit antara Ken Arok dan pasukan Kediri dimana pasukan Kediri berhasil dikalahkan dalam pertempuran. Di dalam masa kehancuran dari kerajaan Kediri ini, maka pasukan Kediri lari tunggang langgang.
Maka tersebut dua orang perwira yang sangat gagah berani yang masih ada hubungan darah dengan Jaya Katowang dan Ciwa Waringin yaitu Jaya Katha dan Jaya Waringin. Didalam pertempuran yang sengit Jaya Katha dapat pula melarikan diri beserta dengan istrinya de daerah Tumapel, dimana istri tersebut sedang hamil tua Di daerah Tumapel inilah beliau disambut oleh keluarga Gajah Para keluarga dari istri dan keluarga Kebo Ijo.
Di daerah Tumapel beliau lama disana yang akhimya beliau melahirkan 3 ( tiga ) orang putra seperti tersebut dalam Babad Arya Kanuruhan sebagai berikut :
”Pira kunang Suwenira hanengkana marek pawekang kala, ri wekasan Jaya Katha awangsa jaiu tatiga; Jyesta abhiseka Arya Wayahnn Dalem Manyeneng. Panghulu apanagaran Arya Katanggaran, Pamungsu Arya Nuddhata, tan waneh ibu sira katiga sangkana Wangsan sira Jaya Katha”.
Terjemahannya :
Setelah sedemikian lama beliau berada di sana (Tumapel) maka akhirnya Jaya Katha melahirkan 3 orang putra yang bernama Arya Wayahan Dalem. Yang ke dua, Arya Katanggaran, dan ketiga yang terkecil bernama Arya Nuddhata, oleh karena ibu mereka berjumlah 3 (tiga ) orang, demikianlah keturunan Jaya Katta
Tersebutlah sekarang putra beliau yang Nomor dua yang bernama Arya Katanggaran mengambil istri dari keluarga Kebo Ijo. Yang mana akhimya perkawinan ini melahirkan Kebo Anabrang beliau diberi nama Kebo Anabrang karena beliau diutus oleh raja Singosari ke daerah seberang Melayu dalam rangka memupuk persahabatan dengan kerajaan Melayu dan Sri Wijaya karena kedua negara ini memiliki angkatan Laut yang sangat kuat dan Sri Wijaya adalah negara Marinir. Dalam rangka persahabatan ini, Kebo Anabrang datang ke Tanah Melayu dengan pasukan yang disebut cicngan nama pasukan Pamalayu (1275 1 292) Kedatangan pasukan Pemelayu dari daerah Melayu setelah menyelesaikan masa tugasnya maka setibanya di Singosari mereka tidak melihat lagi kerajaan Singosari, sehingga datanglah Kebo Anabrang ke kerajaan Mojopahit karena kerajaan Mojopahit adalah di perintah oleh Raden Wijaya yang merupakan pewaris langsung dari kerajaan Singosari. Disamping Raden Wijaya juga mengawasi ke empat putra kerajaan Singosari.
Kedatangan Kebo Anabrang dari Melayu maka beliau membawa dua orang putri yang bernama Dara Petak dan Dara Jingga kedua puitri kerajaan Melayu ini dipersembahkan kepada Raden Wijaya. Dara Petak diperistri oleh Raden Wijaya, yang nantinya melahirkan putra bernama Kala Gemet. Sedangkan Dara Jingga kawin dengan keluarga raja maka lahirlah Aditya Warman, yang nantinya menjadi raja di kerajaan Melayu.
Kedatangan pasukan Pemelayu ini membuat besarnya hati Raden Wijaya di kerajaan Mojopahit, oleh karena itu beliau menobatkan diri menjadi raja pada tahun 1294, serta di dampingi oleh Panglima perang Kebo Anabrang. Setelah beberapa lama Kebo Anabrang bertempat tinggal di Mojopahit, akhirnya beliau mengambi! istri dari keluarga ksatrya keturunan Singosari. Perkawinan dengan putri Singosari, melahirkanlah ia seorang putra bernama Kebo Taruna, yang merupakan nama yang diberikan oleh ayah beliau saat beliau masih kecil, sedangkan nama julukan yang diberikan kepadanya, bila menghadapi perang dan sebagai Panglima perang, adalah Sirarya Singha Sardhula, karena beliau bagaikan Singha menghadapi musuh di medan perang. Lama kelamaan Kebo Taruna ini diberi pula julukan Kanuruhan saat beliau diajak oleh Gajah Mada mengadakan penyerangan ke Bali, dalam rangka melaksanakan sumpah Palapa. Beliau diberi nama Kanuruhan karena jabatan beliau dalam Expidisi ke Bali, beliau diberikan pangkat sebagai Kanuruhan, yang lama kelamaan beliau memakai gelar Sirarya Kanuruhan.
PERKEMBANGAN KELUARGA KANURUHAN DI BALI
Tahun 1343 adalah merupakan tahun Expedisi (penyerangan) Gajah Mada ke tanah Bali, karena pada waktu ini Raja Bali yang bergelar Sri Asta Sura Ratna Bhumi Banten telah merasa yakin akan kekuatan dirinya dan ingin melepaskan diri dari kerajaan Mojopahit yang pada waktu ini diperintah oleh seorang raja putri bernarna Tri Bhuana Tungga Dewi, karena pada umumnya raja-raja Bali sangat erat hubungannya (hubungan darah) dengan raja Kediri, sehingga sangatlah sukar bagi raja Bali untuk melepaskan diri dengan raja Kediri. Untuk itu raja Bali mengadakan persekongkelan dengan raja Suradenta dan Suradenti dari Kerajaan Blambangan dalam rangka bekerja sama untuk menggempur Mojopahit, dan kerja sama ini di tanda tangani oleh Maha Patih Pasung Grigis mengatasnamakan raja.
Pimpinan Expedisi ke tanah Bali, dipimpin langsung oleh Gajah Mada beserta Arya-Arya lainnya sehingga Bali di kepung dan di gempur dari empat jurusan yakni dari jurusan Timur di bawah pimpinan Gajah Mada.
Dari jurusan Utara di bawah pimpinan Arya Damar, Arya Sentong dan Arya Kuta Waringin
Dari jurusan Barat di pimpin oleh tentara Sunda
Dari jurusan Selatan di pimpin oleh Arya Kenceng, Arya Belog, Pengalasan, Arya kanuruhan, dan Arya Belotong.
Sedangkan Panglima Bali pada saat ini muncul. Menghadapi serangan Timur, dipimpim oleh Ki Tunjung Tutur dan Ki Kopang.
Menghadapi serangan dari Utara Ki Girilemana dan Ki Bwangkang.
Menghadapi serangan dari Selatan, di pimpin oleh Ki Gudug Basur, Dhemung.
Anggeh, dan Ki Tambyak, Menghadapi serangan umum, Ki Pasung Grigis dan Pangeran Madatama.
Dalam perang yang sengit ini masing-masing Panglima telah di hadang oleh Panglima Bali, maka tersebut si Arya Kanuruhan yang memimpin pasukan dari Selatan disambut dengan gegap gempita oleh tentara Bali dengan sorak gemuruh beserta gagah perkasa sehingga terjadi pertempuran yang sangat mengerikan, banyak para tentara yang gugur di medan perang. Ki Tambyak dapat di kalahkan oleh si Arya Kenceng, sedangkan Ki Gudug Basur sangat kebal tidak ditembus dengan senjata. Perang yang dasyat antara Si Arya Kanuruhan dengan Ki Gudug Basur, sama-sama kuat dan sama sama kebal. Oleh karena Ki Gudug Basur hanya sendirian, menghadapi Panglima Mojopahit silih berganti, akhimya Ki Gudug Basur mati kepayahan kehabisan nafas.
Bedahulu terkepung dari semua jurusan pertempuran berkobar dan menimbulkan korban yang sangat banyak.
Pangeran Madatama pemimpin perang merupakan putra mahkota, kerajaan Bedahulu gugur dalam pertempuran dan gugurnya putra mahkota ini menyebabkan sedihnya raja Bedahulu dan akhirnya wafat. Pertempuran di lanjutkan oleh Ki Pasung Gerigis dan pasukan Ki Pasung Gerigis tidak mampu ditandingi oleh pasukan Gajah Mada dan Arya lainnya sehingga pasukan Gajah Mada merasa kewalahan menghadapi pasukan Pasung Grigis, yang akhimya pasukan Gajah Mada menaikkan bendera putih, untuk mengadakan perundingan dengan Pasung Grigis. Pasung Grigis sangat gembira karena itu terjadilah persahabatan dengan tentara Mojopahit. Pada saat terjadi perdamaian ini datanglah utusan dari Mojopahit, yaitu Kuda Pengasih yang merupakan adik sepupu dari Ken Bebed yaitu istri dari Gajah Mada. Kedatangan Kuda Pengasih ke Bali untuk memohon agar Gajah Mada cepat kembali ke keraton Mojopahit.
Pada kesempatan yang baik ini Gajah Mada mengajak Ki Pasung Grigis pergi ke Mojopahit dengan membawa emas manik, sebagai tanda persahabatan. Setelah berada di Mojopahit Ki Pasung Grigis merasa dirinya tertipu, dimana ia menang perang, namun kalah taktik, karena menghadap Mojopahit berarti kalah total.
Pada saat Gajah Mada meninggalkan Bali, maka untuk keamanan pulau Bali, maka Gajah Mada menempatkan tentaranya di pulau Bali sebagai berikut:
Arya Kuta Waringin di Gelgel
Arya Kenceng di Tabanan.
Arya Barya Dalancang diKapal
Arya Belotong di Pacung.
Arya Sentong di Carang sari
Arya Kanuruhan di Tangkas.
Kryan Punta di Mambal.
Kryan Jerudeh di Temukti.
Kryan Tumenggung di Patemon
Arya Demung Wang Bang di Kertalangu (keturunan Kediri . Arya Sura Wang Bang ( Keturunan Lasem ) di Sukahet.
Arya Wang Bang ( Keturunan Mataram ) di pusat Bedahulu,
Arya Melel Cengkrong (Jaran bhana) di Jembrana.
Arya Pemacekang di Bondalem.
Untuk meredakan hati Ki Pasung Grigis terhadap Mojopahit maka Pasung Grigis diangkat sebagai menteri kerajaan Bedahulu, namun tetap diawasi oleh Gajah Mada, Untuk menguji kesetiaan Pasung Grigis terhadap Mojopahit maka Pasung Grigis di perintahkan untuk menumpas gerakan raja Sumbawa, yang bernama Dedela Natha, yang ingin melepaskan diri terhadap kerajaan Mojopahit, disinilah Ki Pasung Grigis mati dalam medan perang bersama- sama dengan raja Sumbawa dalam perang tanding.
Dengan tiadanya Ki Pasung Grigis terjadilah kekosongan pemerintahan di pulau Bali, walaupun sebahagian besar tentara Expidisi Gajah Mada di tempatkan di pulau ini untuk mengawasi keamanan, tetapi ternyata pasukan ini tidak mempu menjamin ketertiban sepenuhnya, karena tentara Mojopahit kurang bijaksana dan selalu memperlihatkan keangkuhan sebagai seorang pemenang, sedangkan orang Bali belum bisa menerima pemerintahan Mojopahit yang bukan merupakan keturunan raja-raja Daha, dengan demikian keadaan semakin menjadi kacau karena munculnya pemberontakan-pemberontakan.
Melihat keadaan Bali semakin rumit, maka Patih Ulung, Pamacekan dan Ki Pasekan, Kiyayi Padang Subadra memberanikan diri menghadap ke Mojopahit dan mohon diadakan wakil raja yang mampu meredakan ketegangan yang ada di tanah Bali.
Terpikirlah oleh Maha Patih Gajah Mada untuk mencari tokoh yang masih ada hubungannya dengan raja-raja Daha, tetapi tidak diragukan kesetiaannya terhadap Mojopahit. Setelah dirundingkan maka terpilihlah putra dari Mpu Kepakisan yang bernama Empu Kresna Kepakisan seorang keluarga Brahmana yang masih ada hubungan darah dengan Daha (Kediri), sehingga dengan pengangkatan ini maka statvis ke Brahmanaannya diturunkan menjadi Ksatrya.
Kedatangan Dalem Ketut Kresna Kepakisan menjadi raja di Bali (Beliau dinobatkan pada tahun ”Yoga Munikang netra den ing Bhaskara (1274 Caka)” maka beliau tidak memilih tempat di Bedahulu. Akan tetapi beliau menempatkan diri di Samprangan, dengan maksud untuk menjauhkan diri dari ketegangan- ketegangan dalam ibu kota, akan tetapi cukup dekat untuk mengadakan pengawasan, sehingga pemerintahan dapat berjalan dengan obyektif. Ketertiban Bali ternyata belum bisa ditertibkan, banyak orang Bali Aga masih belum mau menyatakan setia kepada penguasa Samprangan, walaupun sudah dipenuhi tuntutan- tuntutan mereka seperti yang pernah disampaikan oleh Patih Ulung. Untuk melemahkan pemberontakan Bali Aga tersebut maka Gajah Mada mengirim beberapa pasukannya ke Bali , seperti : Tan Kober, Tan Kawur, Tan Mundur, dan Arya Gajah Para, sehingga terjepitlah daerah Bali Aga, dan tidak dapat berbuat banyak.
Setelah aman kerajaan, maka disusunlah struktur pemerintahan Bali seperti:
Raja: Penguasa tertinggi.
Patih Agung: Perdana Menteri.
Patih.
Bata Mantra (Tanda Manteri. )
Demung (Urusan Upacara ).
Temenggung (Pemimpin tentara Rakyat).
Di dalam mengatur pemerintahan, maka Arya Kanuruhan dan Arya Kuta Waringin mendapat tempat sebagai menteri Sekretaris Negara, karena kedua orang ini merupakan ksatrya keturunan Kediri, dan sangat pandai dalam ilmu pemerintahan Negara. Untuk mengisi kekosongan dalam pemerintahan, maka diangkatlah Pangeran Nyuh Aya menjadi Patih Agung, Arya Wangbang menjadi Demung. Demikianlah akhimya raja Kresna Kepakisan Wafat pada tahun saka 1302.
Tersebutlah sekarang Si Arya Kanuruhan yang menjadi Menteri Sekretaris Negara dan bertempat tinggal di wilayah Tangkas kini beliau telah menginjak masa tua dan beliau telah banyak menulis buku-buku tentang Sasana Mantri (job training dari masing- masing Mantri) oleh karena itu beliau selalu diikut sertakan sebagai pendamping raja guna memberikan pertimbangan sesuatu sebelum diputuskan oleh raja.
Sebagai generasi penerus yang dilahirkan oleh Arya Kanuruhan antara lain adalah:
  • Arya Brangsinga, anak yang tertua
  • Arya Tangkas, adalah putra beliau yang nomor 2 ( dua ).
  • Arya Pegatepan adalah putra beliau yang nomor 3
BRANGSINGA
Putra beliau seperti tersebut di atas memiliki ilmu yang sama dalam pemerintahan negara oleh karena itu kesemua putra beliau dipergunakan sebagai pendamping raja. Sedangkan putra beliau yang tertua yaitu Arya Brangsinga diangkat oleh raja sebagai pengganti ayahanda Arya Kanuruhan sebagai menteri Sekretaris Negara. Yang sangat menyukarkan bagi Arya Brangsinga dalam pemerintahan, karena sang raja yang bergelar Dalem Hile kurang waras, sehingga akhimya banyak yang menghadap dari Jawa tidak puas, oleh karena itu Arya Brangsinga akhimya mengadakan sidang kerajaan untuk mengambil keputusan untuk pengangkatan Dalem ketut Ngelesir menjadi Raja. Beliau Dalem Ketut Ngelesir, setiap hari pergi ke desa-desa untuk berjudi, berkat kebijaksanaan para Mantri maka akhimya beliau diketemukan di desa Pandak oleh Bendesa Gelgel dan disini beliau dimohonkan untuk menjadi raja, sehingga berdirilah kerajaan baru, yaitu kerajaan Gelgel, tahun 1305 Caka.
Di dalam menjalankan pemerintahan, Dalem Ketut Ngelesir mengangkat beberapa pendamping antara lain :
  • Kryan Patandakan, menjadi Tanda Mantri.
  • Arya Kebon Tubuh, menjadi Patih.
  • Arya Brangsinga menjadi Menteri Sekretaris Negara.
Arya Brangsinga yang berkedudukan sebagai Mentri Sekretaris Negara, lalu beliau mempunyai dua orang putra yang diberi nama :
  • Kiyayi Brangsinga Pandita (Anak pertama)
  • Kiyayi Madya Kanuruhan, (anak ke dua)
Kedua putra beliau ini sangat tampan dan memiliki ilmu pemerintahan yang sangat tinggi oleh sebab itu salah satu putra beliau yang bernama Kiyayi Brangsinga Pandita, dipercayakan sebagai pendamping raja Dalem Ketut Smara Kepakisan (Dalem Ketut Ngelesir), saat beliau di undang untuk menghadap kepada Sri Maha Raja Hayam Wuruk di Kerajaan Mojopahit, pada waktu raja Hayam Wuruk akan melakukan upacara Caradha, yaitu Upacara yang dilakukan setiap 12 tahun sekali dengan tujuan untuk menghormati arwah nenek moyang raja-raja Mojopahit, disamping upacara ini sebagai upacara keagamaan maka upacara ini mengandung pula arti politik dimana pada upacara ini menghadaplah para adipati dan raja-raja bawahan dengan membawa upeti sebagai tanda patuh, sehingga raja Hayan Wuruk, martabatnya menjadi naik.
Pada saat menghadapnya raja Bali dihadapan Sri Baginda Hayam Wuruk, maka raja Bali mendapat pituah di dalam pemerintahan hendaknya berpegang teguh pada Manawa Dharma Castra, yang merupakan pedoman hukum di dalam menjalankan roda pemerintahan; disamping itu maka Sri Baginda Maha Raja Mojopahit juga menganugrahkan keris kepada raja Bali yang diberi nama:
  • Keris Canggu Yatra, karena keris ini dapat berputar-putar di desa Canggu.
  • Keris yang diberi nama Naga Basuki , Yaitu keris yang berisi gambaran Naga Taksaka yang sangat sakti.
Setelah tiba di rumah yaitu pulau Bali, maka pemerintahan dapat berjalan dengan lancar sesuai dengan apa yang diharapkan oleh kerajaan Mojopahit.
Pada saat pemerintahan Dalem Watu Renggong di Gelgel, tersebutlah beliau Kiyayi atau Arya Brangsinga telah menjadi tua dan akhirnya beliau diganti oleh putra beliau yang tertua yaitu Arya (Kiyayi) Brangsinga Pandita sebagai Manteri Sekretaris Negara. Karena mahirnya beliau di dalam ilmu ke Tata Negaraan maka beliau di berikan anugrah atau piagam oleh raja Dalem Waturenggong yang disaksikan oleh Brahmana-brahmana keturunan Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh.
Adapun isi piagam itu sebagai berikut:
”Hai kita Brangsinga, kita tosing Ksattya, mangke Arya pwa pawakanta, apaart ira amatihi ingong, Ingong Iccha Pyagam, gagaduhan iawan kita, sinerating lapihan, maka pamiket baktin ta atuhan, Yeka wistrakena, ri santana prakti santananta kateka tekeng wekas, didine tan singsala ring ulah anawi, angamong manteri sasana, mwang sapratyekaning pati Iawan hurip, Ingong lugraha ri kita, aywa cawuh mwang bucecer, aywa predo, apan donating uttama ri kawanganta, mwah wus siddha linugrahan, de sang wawu rauh, apan mangkana mulaning Wilwatikta.
Terjemahannya:
Hai engkau Brangsinga, kamu adalah keturunan dari Ksatrya, sekarang kamu kuberikan nama Arya karena kamu sangat patuh padaku (Raja), aku akan memberikan piagam kepadamu, yang kamu harus pegang atau tulis pada lempengan, sebagai tanda baktimu kepada raja, itulah yang patut engkau ikuti, sampai dengan keturunanmu, agar jangan menimbulkan hal yang tidak baik didalam kamu mengabdi, kamu sewajarnyalah memegang kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan oleh para mentri (Menteri Sasana) baik memberikan hukuman mati maupun hidup, hal ini aku serahkan semuanya padamu, janganlah kamu bermain- main, dan janganlah kamu lengah, oleh karena maha utama penugrahanku ini.
Setelah diberikan anugrah yang maha suci oleh Sang Pandita Wawu Rawuh (disaksikan) karena dialah (Brangsinga) yang ikut datang dan menerima anugrah di Mojopahit.
Demikianlah bunyi piagam yang diberikan oleh raja (Dalem) kepada keluarga Barangsinga yang diterima oleh Kryan Brangsinga Pandita, dengan ucapan terima kasih di bawah duli tuanku raja semoga piagam tersebut dapat dipahami dan dilaksanakan oleh prati sentanan atau turunan hamba. Setelah lama Kiyayi Brangsinga berada di bumi maka beliau dimakan waktu dan menjadi tua dan akhirnya mati. Sebelum beliau meninggalkan dunia ini, beliau telah memiliki 2 ( dua ) orang putra yaitu:
  • Ki Gusti Singa Kanuruhan, beliau diangkat menjadi patih untuk melakukan perang.
  • Ki Gusti Madya Kanuruhan. beliau mengantikan ayah beliau menjadi Mantri Sekretaris Negara.
I Gusti Singa Kanuruhan yang menjadi Patih atau senopati beliau kawin dengan seorang wanita dari Padang Rata, dan berputra 3 (tiga) orang, dua laki laki dan satu perempuan yang diberi nama:
  • Yang pertama Ki Gusti Brangsinga Pandita (untuk mengenang nama kakek beliau).
  • Putra yang kedua ini adalah wanita, di beri nama I Gusti Luh Padangrata.
  • Putra yang ketiga dan yang terkecil, adalah I Gusti Singa Padangrata
Sedangkan I Gusti Madya Kanuruhan yang menjabat Mantan Sekretaris Negara dalam zaman pemerintahan Dalem Bekung, dan dari beliau ini menghasilkan 3 ( tiga ) putra antara lain:
  • Ki Gusti Gede Singa Kanuruhan.
  • Ki Gusti Madya Abra Singa Sang San
  • Ni Gusti Ayu Brangsinga yang nanti dipakai istri oleh I Gusti Ngurah Jelantik, (cucu dari Jelantik Bogol) .
Tersebutlah kemudian Ki Gusti Madya Abra Singosari beliau ini mengganti-kan kedudukan ayahanda menjadi Menteri Sekretaris Negara, yang mana beliau mengambil istri dari Padang galak, akhirnya berpulralah beliau yang diberi nama:
  • Ki Gusti Luh Padang Galak.
  • Ki Gusti Singa Lodra.
  • Ki Gusti Kesari Demade.
Ki Gusti Madya Kanuruhan karena setia beliau pada raja Dalem Bekung, dimana kesalahan yang dilakukan oleh Dalem Bekung mengenai masalah perempuan maka meletuslah pemberontakan baru yang dipimpin oleh Pande Base, sehingga raja Dalem Bekung melarikan diri yang pertama kearah Kapal dan kemudian pindah ke Purasi, disinilah beliau menetap beserta Kiayi Gusti Madya Kanuruhan.
Setelah Gelgel kosong naiklah menjadi raja Ida Dalem Anom Sagening. Dalam pemerintahan beliau sangat aman dan pembrontakan-pembrontakan mulai dipadamkan. Oleh sebab Ki Gusti Madya Kanuruhan mengikuti Dalem Bekung dan bertempat tinggal di Purasi maka sebagai Menteri Sekretaris Negara dalam pemerintahan Dalem Sagening adalah Ki Gusti Madya Abra Singosari.
Salah satu keturunan dari Brangsinga ini, ada pula di kirim ke tanah Lombok, setelah beliau mengalahkan musuh di Kuta. Adapun beliau ini bernama Ki Gusti Singa Padang Rata, putra dari I Gusti Brangsinga Pandita. Oleh karena I Gusti Brangsinga Pandita hanya memiliki satu putra, dan telah dikirim beperang ke tanah Lombok, maka beliau menjadi sepi yang akhirnya beliau kawin lagi dengan I Gusti Luh Padang Galak. Dari Perkawinan ini maka memperolehlah 3 ( tiga ) orang putra antara lain:
  • I Gusti Padang Rata, yang nantinya ditempatkan di desa Tanggu Wisia.
  • Putra Nomor 2 ( dua ) bernama I Gusti Padang Galak.
  • Yang tcrkecil, Ki Gusti Podang Kanuruhnn, yang kemudian bertempat tinggal di Kuta
Diceritakan kemudian I Gusti Singa Lodra, putra dari I Gusti Abra Singosari, beliau pergi meninggalkan Gelgel menuju desa Blahbatuh, bersama dengan Kryan Jelantik yang masih merupakan ipar beliau, di Belahbatuh. Beliau bertempat tinggal di desa Brangsinga di sebelah Selatan dari kota Belahbatuh, disini beliau kawin lagi, maka beliau memperoleh putra tiga orang yaitu:
  • Ki Gusti Sabranga, yang nantinya berdomisili di Seblanga (Badung).
  • Ki Gusti Made Belang, beliau bertempat tinggal di Blangsinga (Blahbatuh).
  • I Gusti Padang Singa
Dari Putra kedua yaitu Ki Gusti Made Belang, beliau di Blangsinga, barputra I Gusti Singa Padu, I Gusti Singa Perang, I Gusti Padang Singa, I Gusti Singa Aryata.
Kembali kita membicarakan masalah Gelgel. Sepeninggal beliau I Gusti Singa Lodra, maka kedudukan sebagai menteri Sekretaris Negara dipegang oleh putra beliau yang bernama:
  • I Gusti Brangsinga Pandita.
  • Ki Gusti Madya Kanuruhan
Satu putra yang lain dari Brangsinga, adalah putra dari I Gusti Gede Singa Kanuruhan dan I Gusti Madya Abra Kanuruhan kedua putranya mengikuti penyerangan dalem Pemayun ke Purasi untuk membela Dalem Bekung yang di kup oleh Kryan Made dari keturunan Kebon Tubuh.
Adapun putra lain yang dimiiiki oleh Singa Gede Kanurungan lalah:
I Gusti Singa Nabrang, I Gusti Madya Abra Singosari,  Gusti Nyoman Singosari, I Gusti Singa Gara.
Adapun putra ke dua dan Singa Gede Kanuruhan, yang bernama I Gusti Made Abra Singosari beliau berputra: I Gusti Wayan Singa Kanuruhan, I Gusti Kesari Dimade, I Gusti Nyoman Singa Rai, I Gusti Nyoman Singa Raga.
Sedang putranya yang bernama: Ki Gusti Singha Anabrang, beliau akhirnya menjadi kepala Desa Watwaya di Karangasem, dan bertempat tinggal di Selatan Pasar
  • Ki Gusti Nyoman Singosari beliau akhirnya bertempat tinggal di Mengwi, dan akhirnya beliau pergi ke desa Penebel, dan terakhir beliau bertempat tinggal di desa Rangkan.
  • Ki Gusti Singa Gara beliau mernerintah di Subagan.
Putra-putri beliau Abra Singosari seperti Ki Gusti Wayan Singa Kanuruhan, memerintah di desa Bulakan. Ki Gusti Kesari Dimade, memerintah di Ujung. Ki Gusti Nyoman Singa Rai, memerintah di Desa Abyan Jero.
TANGKAS
Putra dari Arya Kanuruhan yang kedua adalah Kiyayi Tangkas yang sering pula disebut Pangeran Tangkas. Beliau bertugas (mendapat tugas) dari raja sebagai Rakryan Apatih, karena Kiyayi Tangkas sangat bakti kepada Dalem, sehingga Pangeran Tangkas dipergunakan sebagai Rakryan Patih tedeng aling-aling raja. Kesetiaan Pangeran Tangkas terhadap raja maka segala perintah raja tidak pernah ditolaknya.
Tersebutlah Pangeran Tangkas diperintahkan oleh Raja untuk memegang tampuk pemerintahan di wilayah Kertalangu oleh karena pemegang wilayah Kertalangu (keturunan Arya Demung Wangbang) meninggalkan wilayah tersebut karena mereka dikalahkan oleh semut. Untuk mengisi dan mengamankan wilayah Kertalangu ditempatkannyalah Pangeran Tangkas disana.
Di Kertalangu inilah akhimya Pangeran Tangkas tinggal menetap. Pangeran Tangkas, beliau mempunyai seorang putra, yang bernama Kiyayi Tangkas Dimade. Karena dimanjakan akibatnya Tangkas Dimade akhimya buta mengenai huruf sandi.
Pada suatu hari ada seorang yang dianggap salah oleh raja dan menurut sesana (hukum) orang ini harus dihukum mati. Orang yang salah ini diutus oleh raja (Dalem) untuk membawa surat ke Badung ( Kertalangu ). Adapun isi surat ini adalah:
pa – pa – nin – nga – tu – se – li – ba – ne – te -tih.
Dalam tulisan rahasia tersebut diatas, Dalem bermaksud membunuh orang yang membawa surat ini, akan tetapi setelah Sang membawa surat tiba di Kertalangu, maka Pangeran Tangkas saat ini tidak berada di rumah, karena beliau pergi ke tegalan mencari burung, oleh sebab itulah anaknya didekati oleh utusan tersebut, dan Tangkas Dimade yang sedang bekerja di sawah lalu diberikan surat tersebut karena Tangkas Dimade tidak bisa membaca hurup sandi maka surat yang diberikan oleh utusan tersebut diterima demikian saja. Setelah surat tersebut diterima maka utusan tersebut pergi dengan cepat. Pada saat ayahnya tiba di rumah maka ayahnya didekatinya serta diaturkan surat tersebut kepada ayahnya dan dengan segera surat tersebut di baca isinya, berkatalah ayahnya kepada putranya Tangkas Dimade: ”Anakku Tangkas, apakah dosa yang kamu buat terhadap Dalem? karena isi surat ini menyebutkan bahwa ayah membunuh bagi ia yang membawa surat ini. Siapakah yang membawa surat ini ‘Apakah dosamu terhadap Dalem?, dan bingunglah ayahnya berpikir-pikir mengenai hal tersebut. Berkatalah putra beliau : ”Ya ayahku sama sekali saya tidak merasa diri bersalah terhadap Dalem, sedikitpun saya tidak merasakannya, bersalah terhadap beliau sesungsungan kita.
Mendengar ucapan putranya itu menangislah ayahnya, sambil menasehati anaknya ”Jika demikian halnya, tetapkanlah pendirianmu sebagai tanda bakti pada raja (Dalem), bila kamu benar, hai ini merupakan jalan utama yang ditunjukkan kepadamu untuk menuju ke jalan sorga Banyak lagi nasehat-nasehat yang diberikan kepada anaknya dalam rangka menghadapi kematian itu. Sehingga hati anaknya mempunyai keikhlasan untuk siap mati dibunuh oleh ayahnya.
Tak beberapa lama tersebarlah berita di seluruh wilayah Kertalangu bahwa Tangkas Dimade akan dibunuh oleh ayahanda. Sehingga banyaklah warga desa Kertalangu datang bertanya mengenai hal ikhwal terjadinya musibah tersebut. Sebelum anaknya dibunuh maka disuruhlah Tangkas Dimade melakukan persembahyangan, setelah itu dilaksanakannyalah Upacara mejaya-jaya dengan diberikan puja oleh Pendeta Ciwa dan Buddha.
Setelah selesai upacara mejaya-jaya maka diantarlah putranya menuju setra tempat pembunuhan, di dalam perjalanan menuju ke setra, Tangkas Dimade diiringi oleh isak tangis sepanjang jalan, karena Tangkas Dimade sangat sopan dalam pergaulan, dan masih jejaka, dan sedang senangnya hidup.
Setelah tiba di kuburan, disuruhlah Tangkas Dimade melakukan persembahyang­an kearah empat penjuru mata angin di tempat pembakaran jenazah, untuk memohon tempat yang layak bagi dirinya kepada Sanghyang Dharma. Setelah selesai melakukan persembahyangan, maka ayah Pangeran Tangkas mengambil keris lalu menusuk putranya yang tercinta, hanya satu kali tusukan, robohlah Tangkas Dimade pada saat itu juga.
Diceritrakan kembali orang yang membawa surat tersebut kini telah tiba diistana Dalem di Gelgel, lalu menghaturkan sembah kepada raja dengan mengatakan : Maafkan hamba ratu Dalem, bahwa segala perintah yang tuanku berikan kepada hamba, hamba telah laksanakan dan kini hamba telah kembali dengan selamat.
Melihat kejadian ini maka terkejutlah Dalem (raja ) dan beliau berkata:
  • Hai kamu utusanku, apa sebabnya kamu cepat kembali ?
  • Siapakah yang kamu berikan surat perintahku itu? Katakanlah dengan cepat !
Bersembah sujudlah utusan tersebut, lalu berkata: Maafkan hamba tuanku, surat perintah tuanku telah hamba berikan kepada putra dari Ki Pangeran Tangkas, akan tetapi surat tersebut hamba haturkan saat putra beliau berada di tengah sawah. Oleh sebab Pangeran Tangkas beliau tidak ada di rumah, dan setelah itu hamba balik kembali ke istana, itulah sebabnya hamba dengan cepat tiba kembali.
Mendengar uraian yang disampaikan itu maka sangat terkejutlah sang raja dan segera mengutus seorang utusan untuk lari dengan cepat ke Kertalangu (Badung) untuk mencegah pembunuhan yang dilakukan oleh Pangeran Tangkas, walaupun bagaimana cepatnya utusan menunggang kuda, akan tetapi kecepatan ini sudah terlambat dimana utusan ini telah melihat sendiri mayat putra Pangeran Tangkas telah terbunuh. Tercenganglah utusan raja karena terlambat dan segera kembali ke Gelgel. Lalu melaporkan hal ini kepada Sang raja, setelah menerima laporan beliau menjadi diam, dan berkata dalam hati beliau ”Oh Tangkas engkau bunuh puteramu sendiri yang tidak ada bersalah sama sekali karena baktimu kepadaku”.
Tersebutlah Pangeran Tangkas sekarang telah di tinggalkan mati oleh putra beliau, beliau lama tidak mau menghadap kepada Dalem karena sedih hati beliau, walaupun Dalem telah berkali-kali memanggil beliau untuk menghadap, akan tetapi perintah Dalem tidak diperhatikan.
Melihat hal semacam ini berpikir-pikirlah Dalem dan akhimya diutuslah seorang utusan untuk menghadap kepada Pangeran Tangkas di Kertalangu (Badung), untuk meminta dengan sangat agar Pangeran Tangkas datang untuk menghadap raja. Pada saat inilah pertama kali Pangeran Tangkas datang ke Puri Gelgel. Pada saat tibanya Pangeran Tangkas di istana Gelgel, raja sedang mengadakan rapat dengan para Maha Menteri, Patih, dan lain-lainnya. Melihat Pangeran Tangkas datang maka raja meninggalkan rapat, lalu menerima kedatangan Pangeran Tangkas, serta dengan cepat raja berkata: Marilah engkau dekat padaku Tangkas Berdatang sembahlah Tangkas, Maafkan hamba orang yang hina dina ini duduk di bawah Tuanku! Mendengar ucapan Pangeran Tangkas ini dengan nada sedih, berkatalah kembali Sang Raja : ” Hai kamu Kiyayi Tangkas, bangunlah kamu, dan janganlah kamu duduk di bawah, marilah engkau dekat denganku. Karena perintah raja yang tegas ini maka bangunlah Pangeran Tangkas dari tempat duduknya terbawah, dan berdatang sembah mendekati raja.
Dengan mendekatnya Pangeran Tangkas kepada raja, maka mulailah raja berkata kembali kepada Pangeran Tangkas, dengan lembut, dan kata beliau ( raja ) sebagai berikut:
”Hai Kiyayi Tangkas, aku ingin bertanya kepadamu, apakah yang menyebabkan kamu lama tidak menghadap kepada rajamu Apakah hal tersebut disebabkan karena anakmu yang mati yang disebabkan perintahku yang kurang tegas itu padamu? Mendengar pertanyaan raja ini, menyautlah Pangeran Tangkas : ”Maafkanlah hamba tuanku, hamba lakukan itu semua karena bakti hamba kepada sungsungan hamba yaitu Tuanku sendiri“. Mendengar ucapan. Pangeran Tangkas itu terketuk hati Sang raja, karena mengenang bahwa keturunan itu adalah yang amat penting dalam ajaran agama, karena itulah beliau berpikir-pikir lalu bersabda:
Hai kamu Pangeran Tangkas, janganlah karena kejadian tersebut engkau menjadi sedih, karena hal tersebut sudah berlalu, dan tidak akan bisa kembali lagi, lupakanlah itu semua! Akan tetapi untuk meneruskan keturunanmu itu agar Tangkas jangan menjadi lenyap, maka kini aku akan memberikan kepadamu seorang istriku yang sedang hamil, dan umur kandungannya baru 2 ( dua ) bulan, istriku inilah engkau harus ambil, untuk meneruskan keturunanmu. sehingga keturunan Tangkas tidak putus akan tetapi ada yang ku minta kepadamu adalah ‘:
  1. Janganlah kamu menghilangkan (anyapuh) persanggamaan yang telah dilakukan olehku sendiri !
  2. Apabila anak itu telah lahir kemudian, maka anak tersebut kamu beri nama dan panggil dengan nama Ki Pangeran Tangkas Kori Agung
Dari hal tersebut di atas maka Tangkas lalu berkata : Maafkanlah hamba Tuanku Dewa Bhatara, apabila hamba mengambil istri Tuanku, maka hamba akan terkutuk, sehingga hamba kena tulah  dan hamba disebut langgana oleh seluruh jagat.
Kemudian berkatalah Sang raja kembali’: ”Hai kamu Tangkas janganlah kamu berpikir demikian, ini adalah perintahku dan engkau harus laksanakan“.
Karena hal ini merupakan perintah Sang raja, maka istri raja, kemudian diambil oleh Tangkas, lalu di bawa ke Badung, dan sampai di Badung, maka diadakannya suatu upacara perkawinan yang sangat besar, dengan mengundang banyak keluarga.
Setelah upacara selesai maka lama kelamaan lahirlah seorang putra laki yang sangat tampan dan gagah perkasa yang diberi nama PANGERAN TANGKAS KORI AGUNG. Oleh karena itu gembiralah wilayah Kertalangu kembali.
Di dalam beberapa sumber menyebutkan bahwa istri raja yang dianugrahkan kepada Kiyayi Tangkas pada masa mudanya bernama Ni Luh Kayu Mas, yang berasal dari keluarga Bendesa Mas. Lahirlah putra raja yang bernama Pangeran Tangkas Kori Agung di tengah-tengah keluarga Tangkas, maka secara biologis beliau adalah putra raja atau putra dalem. Akan tetapi secara adat, beliau adalah pewaris langsung dari keluarga Tangkas. Setelah Pangeran Tangkas Kori Agung menjadi remaja putra dan beliau sering datang dan menghadap Dalem di Gelgel. Melihat hal ini akhimya Sang raja meminta kepada Pangeran Tangkas Kori Agung, untuk kawin dan mengawini putri dari keturunan Arya Kepasekan, dengan tujuan agar kesatuan rakyat Bali dan keturunan dari Jawa tetap terpelihara, oleh karena Patih Arya Kepasekan adalah patih Bali yang merupakan keturunan langsung dari Arya Kepasekan yang pernah datang ke Mojopahit untuk menghadap kepada Patih Gajah Mada, bersama dengan pembesar Bali lainnya, seperti: Arya Pasek dan Patih Ulung untuk penobatan raja Bali, demi amannya Bali, dari pembrontakan-pembrontakan orang yang tidak puas terhadap Mojopahit.
Berkat usaha dari ketiga Maha Patih Bali inilah akhirnya Dalem Sri Kresna Kepakisan diorbitkan untuk menjadi raja di Bali, oleh Patih Gajah Mada.
Untuk mengenang jasa leluhur dari Arya Kepasekan ini maka diharuskannyalah Pangeran Tangkas Kori Agung, kawin dengan putrinya. Perkawinan antara Pangeran Tangkas Kori Agung dengan Putri Arya Kepasekan, lahirlah seorang putri yang bernama Gusti Ayu Tangkas Kori Agung.
Untuk melanjutkan keturunan dari Pangeran Tangkas Kori Agung dan mempererat hubungan dengan Pasek Gelgel, karena Pasek Gelgel berada di Gelgel yang mempakan pusat ibu kota kerajaan Gelgel dan Puri juga berada di Gelgel. Untuk itu demi amannya Puri dikawinkannyalah Gusti Ayu Tangkas Kori Agung dengan Gusti Agung Pasek Gelgel.
Menurut Babad Pasek yang diterjemahkan olah I Gusti Bagus Sugriwa, penerbit Toko Buku Balimas, tahun 1982, halaman 82, maka dijelaskanlah status parkawinan ini sebagai berikut:
Hai anakku Gusti Agung Pasek Gelgel, karena engkau suka kepadaku, kini bapak menyerahkan diri kepadamu, oleh karena bapak tidak mempunyai keturunan laki (tidak beranak laki-laki) kini ada seorang anakku perempuan, saudara sepupu olehmu, apabila kamu suka, bapak berilah kepadamu, Gusti Ayu. Dan  lagi ada harta benda bapak, yaitu isi rumah tangga serba sedikit, pelayan 200 orang, semuanya itu anakku menguasainya. Pendeknya engkau menjadi anak angkatku. Kemudian bapak pulang ke alam baka, supaya anakku menyelesaikan jenazahku. Yang penting permintaanku ialah agar sama olehmu melakukan upacara sebagai Bapak kandungmu sendiri, Dan peringatanku kepadamu, oleh karena dahulu ada permintaan Pangeran Mas kepada leluhur kita yaitu supaya jangan putus turunan-turunan kita dengan sebutan Bendesa Sebab supaya mudah oleh beliau kelak mengingati turunan-turunan beliau bila ada lahir dan beliau.
Kini oleh karena bapak memang berasal dari sana, sebab itu bapak minta kepadamu bila kemudian ada anugrah Tuhan kepadamu terutama kepada bapak, ada anakmu lahir dari sepupumu Ni Luh Tangkas, supaya ada juga yang memakai sebutan Bendesa Tangkas itu sampai kemudian supaya mudah leluhur kita mengingati turunan turunannya nanti di Sorga. ” (Babad Pasek oleh  I Gusti Bagus Sugriwa, Halaman 82, Tahun; 1982 ).
Demikianlah kata-kata yang dikeluarkan oleh Pangeran Tangkas Kori Agung, lalu Ki Gusti Pasek Gelgel berunding dengan saudara – saudara sepupu dan mindonnya, akhimya disetujui oleh semua saudara-saudara Pasek, sehingga akhimya terjadilah perkawinan sesuai dengan permintaan Pangeran Tangkas Kori Agung.
Jadi status perkawinan ini adalah I Gusti Pasek Gelgel selaku sentana yang kawin dengan I Gusti Ayu Tangkas Kori Agung, diupacarai sangat meriah, di rumah Tangkas Kori Agung, yang Juga hadir dalam perjamuan itu semua keluarga I Gusti Pasek Gelgel, di samping tamu yang lainnya.
Dari Perkawinan antara Gusti Ayu Tangkas Kori Agung dengan Gusti Pasek Gelgel, maka dikaruniai 4 (empat ) orang putra dengan nama yaitu:
  • Anak yang pertama bernama Pangeran Tangkas Kori Agung.
  • Anak kedua Bendesa Tangkas.
  • Anak ketiga Pasek Tangkas.
  • Anak keempat, Pasek Bendesa Tangkas Kori Agung.
Demikianlah keturunan Tangkas, yang melanjutkan keluarga Tangkas seterusnya.
Karena keluarga Tangkas terus berkembang dan sangat erat hubungannya dengnn raja dan masyarakat. Maka keluarga Tangkas mendapat tugas-tugas dari raja sebagai berikut:
1. Tangkas Kori Agung adalah pengawal terdepan dari raja lebih – lebih Bendesa Tangkas yang merupakan pengawal setia dari raja Dalem Bekung, dan ikut berperang melawan Kryan Batan jeruk, yang berontak sehingga Dalem terkepung, dimana Tangkas sebagai pengawal raja terdepan, dengan susah payah berperang dengan pasukan Batan Jeruk,y ang akhirnya pemberontakan Batan Jeruk dapat dipadamkan, dan Batan Jeruk meninggal di Bunutan.
2. Karena jasanya sebagai pengawal terdepan dari raja maka  Tangkas diberikan tanda jasa oleh raja berupa:
  • Tangkas tidak boleh dihukum mati.
  • Tidak boleh dirampas artha bendanya.
  • Bila Tangkas harus dihukum mati, maka hukuman mati dapat dilakukan dengan hukuman buangan selama satu bulan.
  • Bebas pajak.
  • Bila Tangkas harus kena denda lainnya, harus dihapuskan. Jasmat kataku, bila hakim berani melanggar, semoga terkutuk oleh Tuhan.
3. Melakukan upacara yang ada di Besakih.
PEGATEPAN
Putra dari Arya Kanuruhan yang nomor 3 (tiga ) adalah Kiyayi Pegatepan, putra beliau yang ketiga ini adalah sangat cerdas, disamping sangat tangkas.
Sebagai seorang prajurit kerajaan, maka Kiyayi Pegatepan mendapat tugas untuk mengamankan kekacauan yang ada di daerah Tianyar (bekas daerah Ki Tunjung Tutur)
Pada masa pemerintahan Dalem di Gelgel, maka pada waktu ini yang diberikan hak untuk menguasai dan mengamankan daerah Tianyar, adalah keturunan dari Sira Arya Gajah Para. Dua orang cucunya dan Sira Arya Gajah Para yaitu Kiyayi Ngurah Tianyar, dan adik kandungnya yang bernama Kiyayi Ngurah Kaler, dimana kedua kakak beradik ini mengadakan suatu persengketaan yang sangat hebat, dengan melibalkan beberapa pengikutnya di Tianyar yang menyebabkan kacaunya daerah Tianyar serta keamanan tidak terjamin.
Adapun permasalahan yang mcnimbulkan persengketaan sengit ini adalah masalah berselisih pendapat tentang jalannya pelaksanaan Upacara Pengabenan dari jenazah ayah mereka.
Dengan memuncaknya perang yang sangat hebat ini maka keamanan di daerah ini sangat menyedihkan sehingga kekacauan ini sampai ditelinga raja di Gelgel. Untuk mengamankan dan mendamaikan kedua kakak beradik ini dikirimkannyalah pasukan dari Gelgel di bawah pimpinan Kiyayi Pegatepan. Kiyayi Pegatepan tiba di Tianyar, dengan pasukan pilihan masuk menyelusup ke wilayah pertempuran, akan tetapi pcrtempuran sukar di damaian, sehingga Kiyayi Ngurah Tianyar dan adiknya Kiyayi Ngurah Kaler, keduanya gugur di medan pertempuran. Gugurnya kedua saudara ini masing – masing meninggalkan istri mereka dengan anak yang masih kecil ( bayi ). Sedangkan Kiyayi Ngurah Kaler meninggalkan istri yang sedang mengandung.
Karena gugumya kedua cucu dan Gajah Para, dan keamanan beium terjamin sepenuhnya, maka atas perintah raja Kiyayi Pegatepan ditugaskan terus di Tianyar, sampai desa tersebut betul – betul aman Karena lamanya Kiyayi Pegatepan berada di daerah Tianyar, maka makin lama makin senanglah beliau memegang wilayah tersebut dan akhirnya beliau berketetapan hati untuk tidak meninggalkan wilayah tersebut.
Di Wilayah Tianyar inilah beliau akhirnya mengambi! rabi/ istri yang nantinya melahirkan dua orang putra yang masing -masing putra beliau bernama
Putra pertama diberi nama Kiyayi egatepan Putra kedua Kiyayi Madhya Bukian.
Karena lamanya beliau tinggal di Tianyar, maka kedua putranya ini masing -rnasing menurunkan keturunannya sedemikian banyak Kelurunan inilah terus tersebar ke desa-desa, keseluruh pelosok wilayah Bali
Tianyar merupakan daerah terpencil dimana hubunqan dengan pusat, menjadi jauh sehingga penulisan dan siisilah keluarga dan Kiyayi Pegatepan tidak diuraikan lagi.
Demikianlah silsilah singkat Arya Kanuruhan, semoga cerita ini bermanfaat bagi kita semua khususnya bagi keluarga besar ARYA KANURUHAN, mohon cerita ini disebarluaskan karena masih banyak saudara kita yang belum megetahui cerita dari leluhur kita.